Rumah rumah menghadap jalan, dan membuka pintunya tuk kepergian. Ia selalu bergumam dengan nada sesal, sambil menyaksikan kendaraan berseliweran, berhenti, datang dan pergi. Debu berhamburan memenuhi udara. Disaat bersamaan, ia mendengar bunyi seruling, jauh di belakang, seperti memenggil manggil. Tapi ia tahu tidak akan ada lagi debu debu itu dihalau sang anak gembala di sela pepohonan. Tempat itu sudah lama tiada, ditimbun dan di bikin jalan baru, dan rumah yang tak tak lazim bentuknya menghadap kejalan raya.tentu dengan harga yang mengharu biru.
Rumahnya sediri setengah tembok dan beratapkan seng karatan menghadap jalan utama. Di persimpangan jalan yang menghubungkan kota satu dan lainya. Yang tidak tiap hari di jelangnya. Bila ia menuju kota selatan menuju keutara dengan mengkayuh dua engglek yang ada dibelakangnya. Hidupnya dibayangi berita RRI yang selalu mengumandangkan harga sayur sayuran, sesekali mendengarnya, detak jantung berdebar sambil melirik daganganya, alamat kutunggu busuk atau hancur terbuang.
Selebihnya, lebih banyak lagi keluh kesah dari rumahnya yang menghadap jalan itu, membuka pintu untuk bepergian dan belum tentu kembali. Sementara empat orang anaknya, tiga diantaranya laki laki, telah lama meninggalkanya, tentu lewat jalan aspal yang didepan itu; dan belum pulang hingga kini. Dan yang paling menyakitkan, satu satunya anak perempuannya lenyap dijalan itu.
Dia yang ku ceritakan adalah kakekku sendiri. Kakek ngiskak orang jawa yang memenggilnya, dari nama ali iskhak.Seoarang laki laki tua telah ditinggalkan anak, cucu, istri sekaligus tetangganya. Akulah satu satunya cucunya yang selama ini menemani samopai setengah uzur. Meski sebagai pendengar (kadang tak kelewat setia) peranku dapat dikatakan kebetulan.
Ya, kebetulan ayahku anak tertua kakek,waktu itu hendak berangkat ketanah jiran, dan aku sedang demam panas yang cukup parah. Keberangkatan yang tak mungkin di tunda karna ayah telah membayar seorang penyalur TKI dan tekong yang sudah tak dapat mengubah jadwal keberangkatan. Dan terpaksa aku ditinggal, dan ketika sembuh kusadari tak ada kedua orangtua serta kedua seorangadikku, yang kecil masih erat dengan menyusui, tentu tak sulit bagi nenekku yang masih hidup waktu itu.
Kehadiranku yang berangkat menjadi remaja menjadi penghiburan tersediri bagi kakek yang gemar menghabiskan waktunya memendangi tikungan jalan protokol tepat depan rumah itu sampai ke ujung jalan,jauh, jauh !( ah pelintas itu entah sampai entah tidak !) dengan nada haru.
Ketika nenek meninggal karna sakit, kakek mengira kebersamaanya denganku kemungkinan akan kekal, setidaknya tak mungkin seorang cucu seperti aku ini (pendiam), yang lebih suka berangan angan karna ketularan kakek, akan tega meninggalkan dia sebatang kara. Jelas sekali kakek keliru tentang itu. Justru, setela menyerap banyak cerita darinya, kususnya jalan yang membawa orang orang pergi, diam diam aku menjadi penasaran. Maka, dengan sedikit bebal, kutinggalkan dia sendirian.
Tapi aneh, setelah jauh dari kakek, ungkapanya tentang rumah rumah menghadap jalan, maki memecahkan kepalaku. Munkin aku terperangkap oleh suara suara haru yang dulu yang sering kudengar dari kakek, atau aku sedang dihadapkan sebuah kebenaran yang dulu pernah terungkap.
Apa pun, semenjak meninggalkan rumahku, aku selalu memperhatikan rumah rumah sepanjang jalan, yang sebagaimana ruamahku dulu dengan kakek, semua serambi, pintu utama memilih menghadap jalan, entah mengapa. Itulah yang justru menjadi renungan dari waktu kewaktu, terlelebih bila kerinduan kepada anak cucunya memuncak.
Pernah, aku duduk diatas pedati, rodanya sebelah kiri masuk kelubang; tak terelakkan lagi; aku jatuh ke jalan aspal yang belum sesempurna jalan aspal yang sekarang ini!. dan saat itulah aku mulai tak mau naik pedati. Setelah itu pedati dibiarkan nganggur karena mulai truk truk yang merajai jalanan dan kerbau milik kakek dialih tugaskan untuk menggarap sawah. ”Biarlah kita yang mengalah”, kata kakek kepada kerbaunya.
Meski pada saat itu sudah banyak orang kampungku pergi merantau dan pergi dari rumahnya karna tak ada lagi yang dikerjakanya dikampungnya. Sering aku berpikir kemna yang mereka tuju? Aku sering dengar cerita jalan yang pantas untuk perantauan, seperti” jakarta, surabaya yang mungkin lebih parah dari keadaan rumahnya yang lama, tapi masih mendingan untuk dapat mencari kehidupan dari pada dikampungnya dulu yang seba nanggung.
Sebentar,”Oo, si Anu!” tapi tak lantas hilang rasa memilik. Mereka lekas berlari ketepi jalan, membantu kenek bus menurunkan barang, sampai akhirnya bus telah membawa kembali si perantau, entah dari mana, yang mereka tahu hanya pengakuan dari sang perantau saja.
Di kota kota yang lebih jauh, ketika tetanggaku membeli bus antar kota, dari hasil tanah warisan, aku membantu menjadi kenek, dengan ujang sebagai kenek resmi, sehingga aku di gaji yang tak bertarif, karna peranku hanya sebagai calo penumpang. Tapi aku senang karna aku bisa mengelilingi kota kota, jalan jalan, dan rumah rumah yang menghadap jalan.
Jarak dan waktulah yang membawaku kekota lain yang belum tebayangkan olehku. Yang makin membuat ungkapan kakek dulu menjadi kekal di setiap langkahku.
Ketika naik kereta api kekota, akupun melihat rumah rumah membelakangi rel kereta api, tiap kali kudengar klakson kereta dari cerbong asap, teringat aku akan seruling kerbau yang sering bergema dibelakang rumah yang memang mesti bergema dipadang padang sunyi. Kemudian aku menyebrang pulau yang lebih jauh, yang terkenl dengan sungai sungai yang terkenal lebar dan panjang, kusaksikan rumah rumah yang bepondasikan tiang tiang tinggi itu juga membelakangi sungai dan memilih menghadap jalan beraspal dan berkerikil.
Jadi, apakah ada didunia ini sebuah kampung yang rumahnya tak menghadap jalan? Aku merindukan kampung yang demikian, sebuah kampung yang rumahnya tak harus menghadap ke jalan, tapi saling melingkar, dirumah kelompok keluarga masing masing. Kenapa? Apakah semuaini karena sudah terlalu banyak pergantian tahun yang semakain berkelanjutan.
Pada malam tahun baru lusa kemaren dengan riuhnya jalan karna pesta tahun baru, aku memilih menonton televisi di sebuah kedai kopi langgananku, aku menyaksikan sebuah acara unik; seorang laki laki tua yang sedang memanjat pohon cempedak dibelakang rumahnya, dan bersikeras tak mau turun, yang konon sudah bertahun tahun! Makanan dan segala kebutuhanya dikerek oleh tetangganya dengan tali melalui dahan pohon. Kulihat dibawah pohon itu ada bangkai pedati dan dau yang berserakan. Dengan sedikit heran, seperti aku mengenal tempat dan orang tua tersebut, tak salah lagi. Berita itu bersumber dari desaku dulu, dan si tua itu adalah kakekku.”Ali Iskhak”, begitu kata seorang presenter TV. Menurut berita, itu dikarnakan rumahnya sudah lagi tak menghadap jalan lagi. Entah apa lagi yang berubah?.
Bagi Ali Iskhak, jalan tak lagi sebuah guna, memudahkan siapa saja untuk pergi, tapi tidak untuk kembali, sering ia bertanya, mengapa negri bahari ini luput dari pemanfaatan air?
Disebutkan pula, puncak kekecewaanya kepada seorang cucu satu satunya ikut hialang dalam hitam aspal yang tak kunjung untuk kembali. Saat itulah dia memutuskan untuk naik pohon.”Ini jalan yang lurus, jalan lurus kelangit, dimana saya tak perlu lagi memikirkan arah selatan, barat, utara, timur tapi keatas langit menuju pembebasan...”.kata Ali Iskhak.
Aku yang sekarang ini bekerja di pusat pnggergajian kayu dekat pelabuhan Perak surabaya, hanya bisa menahan sendu.
”Ha ha ha ha, mungkin ia tak tahu kalau diatas ada pesawat?”, seorang kawan kerjaku komentar.sambil tertawa terpingkal pingkal.
”Bahkan ia tak tahu, kalau dia bangun rumah karang didasar laut sekalipun, pasti akan tertabrak kapal selam”,yang lain menimpal.
”Kebulan sekalipun”.
”kelangit tujuhpun akan ditabrak buraknya malaikat”.
Suasana riuh oleh tawa, hanya aku yang masih memendam rasa yang menyiksa batinku sendiri. Mana yang aman untuk rumah kakekku.semntara satu yang melintas di pikiranku, entah apa....? oiya aku harus pulang”.
Oleh
Nasrudin M Nur
terbit di tabloid hasanah
unifersitas muhammadiyah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar